Pijakan Teori Konstruksi Realitas Sosial, Arah Pemikiran Teori Konstruksi Realitas Sosial

Konstruksi sosial (social construction) merupakan teori sosiologi kontemporer yang dicetuskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Menurut kedua ahli sosiologi tersebut, teori ini dimaksudkan sebagai satu kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan (penalaran teoritis yang sistematis), dan bukan sebagai suatu tinjauan historis mengenai perkembangan disiplin ilmu. Oleh karena itu, teori ini tidak memfokuskan pada hal-hal semacam tinjauan tokoh, pengaruh, dan sejenisnya, tetapi lebih menekankan pada tindakan manusia sebagai aktor yang kreatif dan realitas sosialnya.

Realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia bebas yang melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah sosok korban sosial, namun sebagai mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengonstruksi dunia sosialnya (Bungin, 2001:4).

Teori konstruksi sosial yang dicetuskan oleh Berger & Luckmann ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran sosiolog lain. Terutama terpengaruh oleh ajaran dan pemikiran Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang makna subjektif (melalui Carl Meyer), Durkhemian - Parsonian tentang struktur (melalui Albert Solomon), dan Marxian tentang dialektika, serta Herbert Mead tentang interaksi simbolik.

Pijakan Teori Konstruksi Realitas Sosial


Berger dan Luckmann berusaha mengembalikan hakikat dan peranan sosiologi pengetahuan dalam kerangka mengembangkan teori sosiologi. Beberapa usaha tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:10

  1. Mendefinisikan kembali pengertian "kenyataan" dan "pengetahuan" dalam konteks sosial. Dalam hal ini teori sosiologi harus mampu memberikan pemahaman bahwa kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus-menerus. Oleh karena itu, pusat perhatian seharusnya tercurah pada bentuk-bentuk penghayatan (Erlebniss) kehidupan masyarakat secara menyeluruh dengan segala aspeknya (kognitif, afektif, dan konatif). Kenyataan sosial itu ditemukan dalam pergaulan sosial yang termanifestasikan dalam tindakan. Kenyataan sosial itu ditemukan dalam pengalaman intersubjektif dan melalui pengalaman ini pula masyarakat terbentuk secara terus-menerus (unlimited).
  2. Menemukan metodologi atau cara meneliti pengalaman intersubjektif dalam kerangka mengonstruksi realitas, yakni menemukan "esensi masyarakat" yang implisit dalam gejala-gejala sosial itu. Dalam hal ini memang perlu ada kesadaran bahwa apa yang dinamakan masyarakat pasti terbangun dari "dimensi objektif" dan sekaligus "dimensi subjektif" sebab masyarakat itu sendiri sesungguhnya buatan kultural dari masyarakat (yang di dalamnya terdapat hubungan intersubjektivitas) dan manusia adalah sekaligus pencipta dunianya sendiri (Poloma, 1994).
  3. Memilih logika yang tepat dan cocok karena realitas sosial memiliki ciri khas seperti pluralis, dinamis, dan memiliki proses perubahan terus-menerus, sehingga diperlukan pendekatan akal sehat "common sense" untuk mengamati. Maka perlu memakai prinsip logis dan nonlogis. Dalam pengertian berpikir secara dialektis. Kemampuan berpikir secara dialektis tampak dalam pemikiran Berger, sebagaimana dimiliki Karl Marx dan beberapa filosof eksistensial yang menyadari manusia sebagai makhluk paradoksial. Oleh karena itu, kenyataan hidup sehari-hari memiliki dimensi objektif dan subjektif (Berger dan Luckmann, 1990).

Arah Pemikiran Teori Konstruksi Realitas Sosial


Berger dan Luckmann berpandangan bahwa kenyataan itu dibangun secara sosial, dalam pengertian individu-individu dalam masyarakat itulah yang membangun masyarakat. Maka pengalaman individu tidak terpisahkan dengan masyarakatnya. Berger memandang manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang objektif melalui tiga momen dialektis yang simultan, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Adapun pengertian ketiga momen dialektis sebagai berikut:
1. Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Proses ini merupakan bentuk ekspresi diri untuk menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai produk manusia (society is a human product). dalam mengapresiasi seni sebab seni tidak selalu harus indah, demikian pendapat Herbert Read dalam bukunya The Meoning ofArt (1972:38-39). Definisi keindahan tidak mesti sama dengan definisi seni. Atau berarti seni tidak selalu dibatasi oleh keindahan. Seni bermakna sebagai komunikasi. Seni seperti orang sedang berpidato. Seniman mengharapkan tidak hanya harus berhasil mengekspresikan perasaannya, tetapi juga memindahkan perasaannya.

Pada dasarnya seni bukanlah sekadar ekspresi dari setiap ideal yang spesifik dalam bentuk yang plastis. Seni adalah ekspresi dari semua ideal yang dapat diungkapkan oleh seniman ke dalam tata bentuk plastis yang berkualitas estetis, baik yang serba menyenangkan maupun menakutkan, mengharukan, bahkan memuakkan. Nampak bahwa seni tidak selalu mesti indah dan menyenangkan. Keindahan harus diartikan sebagai kualitas abstrak yang merupakan landasan elementer bagi kegiatan artistik. Eksponen penting dalam kegiatan ini adalah manusia, sedangkan kegiatannya diarahkan untuk menghayati serta menjiwai tata kehidupan (di antaranya termasuk kehidupan estetis).

Seni telah memberi pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan manusia. Seiring berjalannya waktu, seni telah mengalami banyak perubahan dan saat ini mulai berkembang dengan baik. Arti seni itu sendiri merupakan sebuah hasil akhir sebuah karya yang diciptakan oleh manusia. Manusia tidak hanya dapat menggagas, melainkan juga dapat mengekspresikan gagasannya. Manusia tentunya tidak mengalami kesulitan mengekspresikan gagasannya, dan manusia tidak bisa tidak mengekspresikan gagasannya. Apabila tidak ada pengekspresian gagasan maka tidak mungkin terjadi hubungan antarmanusia. Bidang-bidang kehidupan manusia seperti ekonomi, sosial, politik, percintaan, dan lain-lain, semuanya memerlukan ekspresi. Manusia dapat hidup hanya dengan mengeskpresikan diri. Dalam mengekspresikan diri, terdapat ekspresi khusus yang disebut kesenian. Kekhususan itu terjadi karena dengan kesenian manusia mengekspresikan gagasan estetik atau pengalaman estetik. Kesenian merupakan penjelmaan pengalaman estetik.

Betapa harmonisnya kehidupan manusia, bersamaan dengan pemenuhan kebutuhan primernya, mereka menyempatkan dan mengupayakan memenuhi hasratnya dalam mengekspresikan pengalaman estetik serta wujud pengalaman estetik. Pengalaman estetik adalah sesuatu yang niscaya timbul dalam hidup manusia. Dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tidak disadari, perhatian manusia banyak ditumpukkan pada pengalaman estetik. Dalam keseharian, manusia banyak memperoleh pengalaman estetik melalui kesenian. Dalam berbusana, berhias, memilih barang-barang, berbicara, bergerak, manusia memperhatikan unsur-unsur estetik dalam kesenian. Dengan demikian, kesenian sebagai ranah ekspresi estetik telah menyertai kehidupan manusia sejak awal hidupnya dan sekaligus juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari seluruh kehidupan manusia.

Nilai-nilai Etika dan Estetika


Pada dasarnya struktur filsafat berkisar pada tiga cabang filsafat, yaitu teori pengetahuan, teori hakikat, dan teori nilai. Kemudian ketiga cabang ini berkembang dalam cakupan yang lebih luas lagi.4 Sidi Gazalbi sebagaimana dikutip Chabib Toha, mengartikan nilai sebagai berikut; "nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, nilai bukan benda konkret, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki ataupun yang tidak dikehendaki, disenangi ataupun yang tidak disenangi".

Aksiologi (teoritentangnilai) sebagai cabangfilsafat membedakan nilai dalam dua jenis, yaitu etika dan estetika. Etika membahas tentang baik buruknya tingkah laku manusia, sedangkan estetika membahas mengenai keindahan. Ringkasnya, dalam pembahasan teori nilai ini bukanlah membahas tentang nilai kebenaran walaupun kebenaran itu adalah nilai juga.

Pengertian nilai itu adalah harga di mana sesuatu mempunyai nilai karena dia mempunyai harga atau sesuatu itu mempunyai harga karena ia mempunyai nilai. Oleh karena itu, nilai sesuatu yang sama belum tentu mempunyai harga yang sama pula karena penilaian seseorang terhadap sesuatu yang sama itu biasanya berlainan. Bahkan ada yang tidak memberikan nilai terhadap sesuatu itu karena ia tidak berharga baginya tetapi mungkin bagi orang lain malah mempunyai nilai yang sangat tinggi karena sangatlah berharga baginya.

Perbedaan antara nilai sesuatu itu disebabkan sifat nilai itu sendiri. Nilai bersifat ide atau abstrak (tidak nyata). Nilai bukanlah suatu fakta yang dapat ditangkap oleh indra. Tingkah laku perbuatan manusia atau sesuatu yang mempunyai nilai itulah yang dapat ditangkap oleh indra, karena ia bukan fakta yang nyata.

Jika kita kembali kepada ilmu pengetahuan, maka kita akan membahas masalah benar dan tidak benar. Kebenaran adalah persoalan logika di mana persoalan nilai adalah persoalan penghayatan, perasaan, dan kepuasan. Ringkasan persoalan nilai bukanlah membahas kebenaran dan kesalahan (benar dan salah), tetapi masalahnya ialah soal baik dan buruk, senang atau tidak senang. Masalah kebenaran memang tidak terlepas dari nilai, tetapi nilai menurut nilai logika.

Tugas teori nilai adalah menyelesaikan masalah etika dan estetika. Dalam pembahasan tentang nilai ini banyak teori yang dikemukakan oleh beberapa golongan yang mempunyai pandangan berbeda terhadap nilai itu. Seperti nilai yang dikemukakan oleh agama, positivisme, pragmatisme, fitalisme, hiduisme, dan sebagainya.

Pengetahuan Etika


Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata ethos, yang berarti adat kebiasaan. Akan tetapi, ada yang memakai istilah lain, yaitu moral dari bahasa Latin, yakni jamak dari kata nos yang juga berarti adat kebiasaan. Namun, sebenarnya pengertian etika dan moral ini memiliki perbedaan. Etika bersifat teori, sedangkan moral bersifat praktik. Etika mempersoalkan bagaimana semestinya manusia bertindak, sedangkan moral mempersoalkan bagaimana semestinya tindakan manusia itu.

Etika hanya mempertimbangkan, baik dan buruk suatu hal dan harus berlaku umum. Secara singkat, definisi etika dan moral adalah suatu teori mengenai tingkah laku manusia, yaitu baik dan buruk yang masih dapat dijangkau oleh akal. Moral adalah suatu ide tentang tingkah laku manusia (baik dan buruk) menurut situasi tertentu.

Jelaslah bahwa fungsi etika ialah mencari ukuran tentang penilaian tingkah laku perbuatan manusia (baik dan buruk). Akan tetapi, dalam praktiknya etika mendapatkan banyak sekali kesukaran. Hal ini disebabkan ukuran nilai baik dan buruk tingkah laku manusia itu tidaklah sama (relatif). Hal ini tidak terlepas dari sifat dasar masing-masing. Namun demikian, etika selalu mencapai tujuan akhir menemukan ukuran etika yang dapat diterima secara umum atau dapat diterima oleh semua bangsa di dunia ini.

Perbuatan tingkah laku manusia itu tidaklah sama dalam arti pengambilan suatu sanksi etika karena tidak semua tingkah laku manusia itu dapat dinilai oleh etika. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma. Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma hukum, norma moral, norma agama, dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan perundang-undangan, norma agama berasal dari agama, norma sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari, sedangkan norma moral berasal dari suara batin dan etika.

Persyaratan perbuatan manusia yang dapat dikenakan sanksi (hukuman) dalam etika harus memenuhi persyaratan. Tingkah laku manusia yang dapat dinilai oleh etika itu haruslah mempunyai syarat-syarat tertentu, yaitu:

  1. Manusia mengerjakan itu dengan penuh pengertian. Oleh karena itu, orang-orang yang mengerjakan sesuatu perbuatan jahat tetapi ia tidak mengetahui sebelumnya bahwa perbuatan itu jahat, maka perbuatan manusia semacam ini tidak mendapat sanksi dalam etika. Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan Mself control", karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri.
  2. Perbuatan yang dilakukan manusia itu dikerjakan dengan sengaja. Perbuatan manusia (kejahatan) yang dikerjakan dalam keadaan tidak sengaja maka perbuatan manusia semacam itu tidak akan dinilai atau dikenakan sanksi oleh etika.
  3. Perbuatan manusia dikerjakan dengan tekanan/paksaan pihak lain. Perbuatan manusia yang dilakukan dengan paksaan (dalam keadaan terpaksa) maka perbuatan itu tidak akan dikenakan sanksi etika.
Copyright © Buek Video. All rights reserved.